Ajaran Wahidiyah : YUKTI KULLA DZII HAQQIN HAQQOH dan TAQDIIMUL AHAL FAL AHAM TSUMMAL ANFA' FAL ANFA'


FAFIRRUU ILALLOH WA ROSUULIHI SAW !
Catatan Kecil 289 - KULIAH WAHIDIYAH

Ajaran Wahidiyah : “YUKTI KULLA DZII HAQQIN HAQQOH”  dan
“TAQDIMUL AHAM FAL AHAM TSUMMAL ANFA’ FAL ANFA’ ”.


• Hanya latihan saja tanpa atau kurang mujahadah, ibarat tanaman kurang pupuk. Begitu juga, jika hanya mujahadah, tidak atau kurang perhatian melatih hati, ibarat tanaman hanya subur daunnya saja, tidak atau kurang berbuah.

“YUKTI KULLADZI HAQQIN HAQQOH”

Maksudnya ialah agar supaya kita berusaha mengisi dan memenuhi segala bidang kewajiban. Mengutamakan pemenuhan kewajiban disegala bidang daripada menuntut hak. Baik kewajiban-kewajiban terhadap Alloh wa Rosuulihi SAW, maupun kewajiban-kewajiban dalam berhubungan di dalam masyarakat di segala bidang, dan terhadap makhluq pada umumnya.

Di dalam berhubungan hidup satu sama lain selalu timbul hak dan kewajiban yang kait mengait satu sama lain. Kewajiban A terhadap B, merupakan haknya B dari A. Demikian pula kewajiban B terhadap A, merupakan haknya A dari B. Maka diantara hak dan kewajiban itu, manakah yang harus diutamakan ?. Jawabnya, adalah pemenuhan kewajiban masing-masing, dengan tanpa menuntut hak. Soal hak, tidak usah dijadikan tuntutan, asal kewajiban dipenuhi dengan baik, otomatis apa yang menjadi haknya datang dengan sendirinya.

Beberapa contoh.
Hubungan suami – istri.

Sang suami mempunyai hak memperoleh pelayanan yang baik dari istri, akan tetapi juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap istri. Istri mempunyai hak nafkah, bimbingan dan perlindungan dari suami akan tetapi juga mempunyai kewajiban khidmah atau memberikan layanan yang baik terhadap suami.

Maka yang harus diutamakan oleh :
Suami : memenuhi kewajiban nafkah, melindungi dan memberikan bimbingan kepada istri, tanpa menuntut hak pelayanan dari istri.
Istri : memenuhi kewajiban menghormati dan memberikan pelayanan yang baik, tanpa menuntut hak nafkah, hak perlindungan, hak bimbingan dan lain-lain dari suami.

Hubungan orang tua – anak.

Orang tua mempunyai hak dihormati dan dita’ati oleh anak, tetapi mempunyai kewajiban nafkah dan mendidik anak. Anak, mempunyai hak nafkah dan pendidikan dari orang tua, akan tetapi mempunyai kewajiban hormat dan taat kepada orang tua.

Maka yang harus diutamakan oleh :

Orang tua  : memenuhi kewajiban nafkah dan mendidik anak, tanpa memperhitungkan hak dihormati dan dita’ati oleh anak. Terkecuali untuk tujuan mendidik.
Anak  : memenuhi kewajiban hormat dan ta’at kepada orang tua, tanpa memperhitungkan tuntutan hak nafkah dan lain-lain.  

Begitu juga yang lain-lain. Pemerintah berhak ditunduki dan dituruti oleh rakyat, akan tetapi berkewajiban membimbing dan memajukan rakyat. Maka yang harus diutamakan oleh Pemerintah adalah kewajiban membimbing dan melindungi dan memajukan rakyat. Sebaliknya begitu juga. Rakyat berhak mendapat bimbingan dan perlindungan dari Pemerintah, akan tetapi juga mempunyai kewajiban taat dan setia kepada Pemerintah. Maka yang harus dijalankan oleh rakyat hanyalah tunduk dan taat kepada Pemerintah tanpa memperhitungkan apa yang menjadi haknya. Sekali lagi apabila kewajiban dipenuhi dengan baik, otomatis hak datang dengan sendirinya dengan baik pula.

“TAQDIMUL AHAM FAL AHAM TSUMMAL ANFA’ FAL ANFA’ ”.

Sesering kali kita menjumpai lebih dari satu macam persoalan yang harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan, dan kita mampu mengerjakannya bersama-sama. Maka dalam keadaan seperti itu, kita pilih diantaranya mana yang lebih aham lebih penting, itu yang harus kita kerjakan lebih dahulu. Jika sama-sama pentingnya maka kita pilih yang lebih besar manfa’atnya. Demikian yang dimaksud “TAQDIMUL AHAM FAL AHAM TSUMMAL ANFA’ FAL ANFA’ ”. Jadi mendahulukan yang lebih aham lebih penting, kemudian jika sama-sama pentingnya dipilih yang lebih besar manfaatnya.

Untuk menentukan pilihan mana yang “aham” dan mana yang “anfa”, kita perhatikan pedoman :

1. Segala hal yang hubungan langsung kepada Alloh wa Rosuulihi SAW terutama yang wajib, pada umumnya harus dipandang AHAM lebih penting.

2. Dan segala hal yang manfaatnya dirasakan juga oleh orang lain/ masyarakat banyak, harus dipandang anfa’ lebih besar manfa’atnya.

Dikatakan “pada umumnya”, sebab mungkin pada suatu sa’at. Karena adanya hal-hal yang baru muncul atau karena situasi dan kondisi pelaksanaannya dapat menyimpang dari ketentuan tersebut. Misalnya, suatu ketika kita sedang mujahadah atau ibadah sunnah lainnya, kemudian ada tamu datang, lebih-lebih tamu dari jauh dan sangat penting, maka dalam keadaan seperti itu kita harus memutuskan mujahadah atau ibadah sunnah tadi dan menemui tamu tersebut. Setelah selesai menemui tamu, mujahadah dapat diteruskan lagi. Contoh lain, kita sedang sholat di pinggir sungai misalnya, lalu terdengar jeritan orang hanyut disungai itu minta tolong. Maka kita harus membatalkan sholat dan menolong orang yang minta tolong itu.

Insya Alloh dari pengalaman begitu, kalau benar-benar tepat mengetrapkan LILLAH BILLAH & LIRROSUL BIRROSUL & LILGHOUTS BILGHOUTS, pemilihan mana yang aham dan mana yang anfa’ itu pasti tepatnya. Tetapi sebaliknya, jika lepas dari LILLAH BILLAH, LIRROSUL BIRROSUL & LILGHOUTS BILGHOUTS, mungkin bisa timbul penyesalan dikemudiannya akibat dari pemilihan aham dan anfa’ yang kurang tepat.

Perlu kita perhatikan bahwa pengertian “manfa’at” harus ditinjau dari berbagai segi dan memakai bermacam-macam pertimbangan. Di dalam soal kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi SAW, tetapi juga bisa diterapkan di bidang-bidang lain yang dalam prinsipnya juga harus kita arahkan untuk FAFIRRUU ILALLOH WA ROSUULIHI SAW, bahwa yang diartikan manfa’at seharusnya ialah :

اَلنَّافِعُ هُوَ الَّذِي يُقَرِّبُكَ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Yang membuahkan manfa’at, yaitu hal atau perkara yang mendekatkan dirimu kepada Alloh wa Rosuulihi SAW”.

Kesimpulan, perkara atau hal yang tidak menjadikan sebabnya dekat kepada Alloh wa Rosuulihi SAW, bukan manfa’at namanya melainkan madhorot atau membahayakan. Sekalipun berupa sholat atau ibadah-ibadah lainnya. Jika tidak mengarahkan kepada pendekatan diri kepada Alloh wa Rosuulihi SAW., tidak akan menghasilkan manfa’at melainkan malah mendatangkan bahaya.

Sholat yang tidak membawa pendekatan diri kepada Alloh adalah sholat yang tidak hudhur hatinya, lebih-lebih yang kecampuran ujub, riya’, takabbur dan lain-lain.

Begitu juga ibadah-ibadah lainnya. Sebab adanya Alloh Ta’ala memberikan kewajiban kepada hamba-NYA mengerjakan sholat, zakat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya itu, dan memberikan tuntunan hidup kepada manusia, memberikan kesempatan hubungan di dalam pergaulan hidup ini, tidak lain Alloh menghendaki agar para hamba-NYA mau mendekat kepada-NYA sehingga menjadi hamba yang sadar kepada Alloh wa Rosuulihi SAW.

Maka oleh karena itu kita para hamba harus berusaha menjadikan segala ibadah apa saja bermanfa’at. Yaitu untuk taqorrub mendekatkan diri kepada Alloh wa Rosuulihi SAW. Untuk FAFIRRU ILALLOH WA ROSUULIHI SAW.

Malah, bukan hanya ibadah atau ta’at saja yang harus kita manfa’atkan untuk Fafirruu Ilalloh wa Rosuulihi SAW, akan tetapi segala keadaan hidup kita dalam situasi dan kondisi yang bagaimana saja harus kita manfa’atkan untuk Fafirru Ilalloh wa Rosuulihi SAW, Yaitu antara lain dengan segera bertaubat memohon ampun kepada Tuhan, memohon dan memohonkan barokah bagi semuanya dan sebagainya.  

TENTANG ISTIGHROQ..................  bersambung......................

Sumber : Buku Kuliah Wahidiyah - Kedunglo Kediri

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ajaran Wahidiyah : YUKTI KULLA DZII HAQQIN HAQQOH dan TAQDIIMUL AHAL FAL AHAM TSUMMAL ANFA' FAL ANFA'"

Posting Komentar